Upaya Memperkuat Persatuan Bangsa dan Nasionalisme Menurut Muhammad Yamin

Baru saja, perayaan Hari Sumpah Pemuda dihelat, sebuah momentum yang penting untuk memperkuat semangat persatuan dan kebangsaan. Perayaan hari bersejarah ini tentu diharapkan tidak menjadi sebatas bersorak dan berhura-hura tanpa makna. Namun, ia diniatkan untuk menjadi sarana menanamkan pendidikan kebangsaan dan persatuan di tengah perbedaan agama, keyakinan, budaya, suku dan bahasa.

Kongres Pemuda II, yang pelaksanaannya jatuh pada tanggal 27-28 Oktober 1928, bisa dikatakan lebih banyak membahas tentang upaya menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan. Pada kongres tersebut, beberapa tokoh bangsa menyampaikan gagasan masing-masing, yang kesimpulannya: bahwa pendidikan adalah faktor terpenting dalam penanaman rasa kebangsaan dan persatuan.

Muhammad Yamin, pada rapat pertama Kongres Pemuda 27 Oktober 1928 tersebut, memaparkan, bahwa untuk memperkuat persatuan, terdapat lima faktor yang sangat penting untuk diperkuat, yakni pendidikan, sejarah, bahasa, hukum adat dan kemauan. Faktor-faktor ini menjadi kunci penting mewujudkan persatuan dan menumbuhkan kebangsaan pada generasi. Sebuah gagasan yang penting untuk diimplementasikan di lembaga-lembaga pendidikan kita.

Pendidikan

Pendidikan adalah obat bagi segala ketimpangan. Radikalisme, kekerasan dalam berbagai bentuk, kriminalitas, kenakalan remaja, aborsi, korupsi dan berbagai penyakit sosial lainnya bersumber dari rendahnya pendidikan. Pendidikan yang rendah berarti kreativitas yang rendah. Kreativitas yang rendah akan memunculkan rasa depresi ketika seseorang berada dalam kesempitan. Rendahnya pendidikan dan kreativitas kerap memicu seseorang untuk mengambil jalan pintas dan menghalalkan cara yang tidak halal, karena tidak terbesit cara lain yang lebih baik dalam benaknya.

Seseorang yang berpendidikan (apalagi cukup tinggi) dan berdaya kreativitas tentu memiliki lebih banyak ide dan cara untuk mengatasi berbagai persoalan. Ia lebih berpeluang keluar dari himpitan hidup dengan cara yang baik, alias tidak melanggar norma. Berbeda sekali keadaannya dengan orang yang berpendidikan rendah atau tidak kreatif yang kerap kehabisan ide dan cara, sehingga ide yang muncul dalam benaknya adalah jalan-jalan pintas atau cara yang tidak bertanggung jawab.

Pendidikan yang baik memberikan cakrawala yang lebih luas, mindset lebih baik, keluwesan dalam menyikapi perbedaan dan keterampilan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang dinamis (berubah-ubah). Tentu saja, hasil-hasil ini tidak selalu otomatis dicapai dari pendidikan, apalagi dari sistem pendidikan yang tidak didesain dengan baik.

Pendidikan bisa menjadi bumerang: menghasilkan pribadi-pribadi yang keras, egois dan tidak bisa menghargai perbedaan, apabila pendekatan yang digunakan tidak demokratis, dipenuhi unsur kekerasan, otoriter, indoktrinasi (pengajaran doktrin), dan tekstual.

Pendidikan yang mendukung terwujudnya pribadi yang berwawasan luas dan luwes, dan mampu menyikapi perbedaan dengan arif dan bijaksana harus memiliki kriteria, antara lain: mengedepankan dimensi rasional dan spiritual, membiasakan diskusi dan situasi yang sarat keragaman, mengutamakan pendekatan damai dalam mengatasi masalah (misalnya kasus pelanggaran oleh pelajar), serta melatih kesadaran diri dan kesadaran empatik terhadap lingkungan sekitar.

Sejarah

Sejarah berperan penting dalam pembelajaran dan dalam proses seseorang menjadi lebih dewasa. Sejarah ibarat masa lalu, yang bisa buruk, bisa juga baik. Peristiwa buruk yang terekam, pasti tidak kita inginkan untuk terulang lagi. Jadinya, kita belajar dan berusaha agar peristiwa buruk itu tidak sampai terulang lagi. Sementara itu, jika peristiwa masa lalu itu baik, kita belajar agar ia meningkat lebih baik lagi di masa mendatang. Dari sejarah, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik.

Sejarah kemerdekaan bangsa dan sejarah para pahlawan merupakan sarana strategis menumbuhkan kembali persatuan, apalagi dengan adanya realitas bahwa sejak dulu bangsa Indonesia sarat perbedaan-perbedaan. Bahwa dengan persatuanlah, perjuangan kemerdekaan mulai dekat pada kemerdekaan. Membaca, mempelajari, dan meneladani sejarah bagaimana sikap para tokoh bangsa untuk bisa bersatu di atas perbedaan-perbedaan, dapat mendorong semangat persatuan dan kebangsaan pelajar dan generasi bangsa saat ini.

Bahasa

Faktor selanjutnya yang harus diperkuat adalah bahasa. Untuk mewujudkan persatuan dan menanamkan nasionalisme, perhatian dan kecintaan terhadap bahasa nasional harus ditingkatkan. Fakta di lapangan menunjukkan, kemampuan berbahasa Indonesia generasi muda tampaknya tidak cukup baik, sebagaimana yang kita saksikan sendiri. Dengan budaya populer (pop culture) yang merebak dan berkiblat pada nilai-nilai budaya (dan bahasa) asing, bahasa nasional kita jadi bercampur aduk dengan bahasa asing. Judul buku, nama perusahaan, percakapan keseharian, saat ini dicampuri atau bahkan dipenuhi dengan kata-kata asing. Seolah, menggunakan kata asing itu meningkatkan prestise.

Bahasa Indonesia, yang diikrarkan pada Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan, sudah sewajarnya disemarakkan lagi gaungnya. Diperlukan gerakan untuk menanamkan rasa bangga pada bahasa Indonesia dan pendidikan untuk mendorong pemahaman yang baik terhadap bahasa nasional kita.

Hukum Adat

Hukum adat dalam konteks ini dapatlah diartikan kearifan lokal. Ya, kearifan lokal adalah warisan kearifan dan kebijaksanaan dari generasi bangsa terdahulu. Kearifan lokal adalah ciri khas, yang meskipun berbeda antara satu daerah dengan lainnya, dapat memperkaya batin kita, bangsa Indonesia.

Globalisasi menyisipkan nilai-nilai asing dan budaya populer ke dalam budaya kita tanpa filter. Akibatnya, kearifan lokal menyisih dan ditinggalkan, ketika ditandingkan dengan modernisme yang disuguhkan globalisasi. Anak muda yang memahami dan mempraktikkan kearifan loka, unggah-ungguh Jawa, misalnya, kini dianggap culun, tidak kekinian, bahkan ketinggalan zaman oleh teman-teman sebayanya, yang ujungnya adalah perundungan (bullying).

Kearifan lokal harus dipertahankan, misalnya dengan cara mengadakan perlombaan berbasis kearifan lokal, dan memasukkan kearifan lokal ke dalam kurikulum yang desain dan teknis implementasinya benar-benar diserahkan kepada sekolah atau lembaga pendidikan di daerah masing-masing, agar lebih tepat sesuai dengan kearifan lokal yang berlaku dan keadaan di daerah tersebut. Cara lainnya, kearifan lokal bisa pula dijadikan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.

Kemauan

Pasti! Tanpa kemauan, tidak ada aksi. Tanpa niat, segala gerak menjadi hampa dan basi. Menanamkan kemauan untuk bersatu dan menjadi nasionalis sudah pasti tidak mudah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengakui dengan kerendahan hati, bahwa ada masalah dengan persatuan, keutuhan dan kebangsaan atau nasionalisme kita. Langkah ini dapat diwujudkan dengan menggerakkan pers, media massa, media sosial, seminar dan media-media strategis lainnya.


Langkah selanjutnya adalah penanaman kemauan dan niat untuk introspeksi diri, melihat lebih dalam, dan melihat jauh ke depan. Apa yang akan terjadi dengan bangsa ini, ketika persatuan dan nasionalismenya runtuh? Kemudian, kita perbaiki kualitas pendidikan, kita kaji dan teladani sejarah, kita tumbuhkan kebanggaan dan rasa cinta pada bahasa Indonesia, kita hargai dan pertahankan nilai-nilai dari kearifan lokal, dan kita jaga terus kemauan dan tekad kita untuk berjuang mempertahankan persatuan dan meningkatkan rasa nasionalisme kita.

Harap berkomentar dengan santun dan bijak. Terima kasih. EmoticonEmoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
=)D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
:ng

ARTIKEL PALING HANGAT DALAM 30 HARI TERAKHIR